div>

Sabtu, 21 Maret 2015

Kebudayaan Di Jawa Tengah



-       Kebudayaan Berdasarkan Ide/Gagasan

Tari Dolalak Khas Kota Purworejo dan Kesenian Cepetan

1.      Tari Dolalak
Sejarah Singkat
Asal mula kesenian dolalak adalah akulturasi budaya barat (Belanda) dengan timur (Jawa). Pada zaman Hindia Belanda, Purworejo terkenal sebagai daerah / tempat melatih serdadu / tentara. Sebagaimana tentara pada zamannya, mereka berasal dari berbagai daerah, tidak hanya Purworejo saja dan dilatih oleh tentara/militer Belnda. Mereka hidup di tangsi / barak tentara.
Ketika mereka hidup di tangsi tersebut, maka untuk membuang kebosanan mereka menari dan menyanyi saat malam hari, ada pula yang melakukan pencak silat dan dansa. Gerakan dan lagu yang menarik kemudian menjadi inspirasi pengembangan kesenian yang sudah ada yaitu rebana (kemprang) dari tiga orang pemuda dari dukuh Sejiwan desa Trirejo Kecamatan Loano yaitu :
1. Rejo Taruno
2. Duliyat
3. Ronodimejo
           Ketiga orang tersebut bersama dengan warga masyarakat yang pernah menjadi serdadu Belanda membentuk grup kesenian. Awalnya pertunjukan kesenian tersebut tidak diiringi instrumen, namun dengan lagu-lagu vokal yang dinyanyikan silih berganti oleh para penari atau secara koor. Perkembangan berikutnya setelah dikenal dan digemari oleh masyarakat, pertunjukan kesenian ini diberi instrumen/iringan dengan lagu-lagu tangsi yang terasa dominan dengan notasi do-la-la. Dalam proses perkembangannya dari pengaruh jaman dan kondisi kemasyarakatan serta penyajiannya maka kesenian ini kemudian menjadi Dolalak.
Kesenian tari Dolalak merupakan sabuah tarian rakyat yang menjadi primadona tari tradisional di Purworejo. Tarian yang sudah eksis sejak sekitar 85 tahunan ini telah merebak hampir di setiap desa di wilayah Purworejo.
Untuk kostum penari Dolalak, mengenakan layaknya pakaian serdadu Belanda, pakaian lengan panjang hitam dengan pangkat di pundaknya, mengenakan topi pet,dan berkacamata hitam.
Yang unik dan paling menarik dari tari Dolalak adalah ketika penari memasuki tahap tarian trance ( kemasukan roh halus ). Saat penari mengalami trance yang ditandai dengan mengenakannya kaca mata hitam, penari akan mampu menari berjam-jam tanpa henti. Selain itu gerak tariannya pun berubah menjadi lebih
energik dan mempesona. Kesadaran penari akan pulih kembali setelah sang dukun “ mencabut “ roh dari tubuh sang penari.
.
Tarian Dolalak, semula ditarikan oleh para penari pria. Namun dalam perkembangannya, tahun 1976 Dolalak ditarikan oleh penari wanita. Dan hampir setiap grup Dolalak di Purworejo, kini semua penarinya adalah wanita. Jarang sekali sekarang ini ditemui ada grup Dolalak dengan penari pria.

 
2. Kesenian Cepetan
Cepet adalah kesenian tarian topeng yang menggambarkan adanya pertarungan antara manusia, hewan, dan iblis-iblis yang ada di Karanggayam, kesenian ini juga yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat sekitar Karanggaya
Kesenian cepet ini udah berlangsung sudah sangat lama, sejak jaman Jepang. Cepet dijadikan sebagai hiburan serta sebagai pemujaan. Kesenian cepet ini di kembangkan oleh sekelumit orang, dan dipertahankan oleh keturunannya saja dan yang bisa membuat topeng cepet ini hanyalah yang ahli saja, konon katanya sebelum membuat topeng harus mengadakan ritual-ritual terlebih dahulu.
Alkisah pada masa Jepang berkuasa di Indonesia, rakyat mengalami penderitaan baik sandang, pangan, dan papan yang luar biasa. Hal ini dialami juga oleh masyarakat Karanggayam. Selain itu, bencana atau musibah berupa penyakit banyak merenggut nyawa. Pertanian tidak bisa diandalkan. Akhirnya seorang sesepuh (tokoh masyarakat) di daerah tersebut memerintahkan untuk bersama – sama membuka hutan untuk lahan pemukiman dan pertanian baru. Hutan itu bernama Curug Bandung, sebuah hutan yang dikenal sangat angker. Cobaan pun datang ketika hutan Curug Bandung dibuka. Semua penghuni hutan, baik binatang dan mahluk halus (cepet, brekasakan, banaspati, raksasa dan lain – lain) harus mereka hadapi. Dengan perjuangan yang keras dan pihatin yang tinggi dari warga, sesepuh dan pemimpin pada saat itu, akhirnya cobaan, gangguan dan ketidaknyamanan yang disebabkan oleh penghuni hutan Curug Bandung pun bisa diatasi. tempat baru tersebut kemudian menjadi sebuah pemukiman yang makmur dan tentram. Pertanian warga juga berkembang baik. Penghuni hutan yang berhasil diatasi dengan daya prihatin (tirakat) akhirnya pindah ke tempat yang lain.
Kesenian tradisional Cepetan/Cepetan diperagakan oleh beberapa orang menggunakan kostum yang notabene selalu ada luriknya, entah satu garis atau dua garis, dilengkapi dengan topeng. Topeng – topeng yang dikenakan oleh masing-masing penari menggambarkan karakter. Sebuah topeng berkarakter baik (menggambarkan manusia), topeng lainnya menggambarkan simbol binatang (monyet, harimau, dan gajah) dan mahluk halus (cepet, bekasakan, banaspati, raksasa/buta dan lain – lain).
           Cara permainannya adalah adanya alunan musik gamelan diiringi kata-kata jawa , kemudian  orang-orang yang memakai topeng masuk sambil joget-joget, terus kalo dikasih bau-bauan menyan sama api mereka bakal kesurupan, bahkan orang sekitarnya kalo misalnya kena senggol, sedikit biasanya akan kesurupan juga.


-  Kebudayaan berdasarkan kebiasaan
·         Haul
Kata “haul” berasal dari bahasa Arab, artinya setahun. Peringatan haul berarti peringatan genap satu tahun. Biasanya peringatan-peringatan seperti ini kebanyakan dilakukan oleh masyarakat islam jawa, gema haul akan lebih terasa dahsyat apabila yang meninggal itu seorang tokoh kharismatik, ulama besar atau pendiri sebuah pesantren. Rangkaian acaranya biasanya dapat bervariasi , adapengajian, tahlil akbar, mujahadah, musyawarah.
Adapun acara inti haul di setiap daerah tidak terlepas dari tiga point berikut yaitu:
  1. Membaca al-Qur’an, dzikir dan tahlilan secara berjama’ah, serta do’a bersama.
  2. Mengadakan pengajian, ceramah agama, pembacaan biografi/sejarah hidup dan karomah-karomah tokoh yang dihauli.
  3. Menghidangkan makanan dan minuman.
Tujuan diadakannya haul
Adapun tujuan haul adalah untuk mengenang jasa dan hasil perjuangan para tokoh yang dihauli terhadap umat dan agama.
Asal-usul haul dalam sejarah Islam
Adapun yang pertama kali mengadakan haul dalam sejarah Islam adalah kelompok Rofidhoh (Syi’ah) yang sesat dan menyesatkan, mereka menjadikan hari kematian Husain a pada bulan A’syuro sebagai hari besar yang diperingati.

Menyikapi Gempa secara Tradisional

Di tanah Jawa, khususnya sebagian Jawa Tengah dan Yogyakarta, ada sebuah kebiasaan yang dilakukan orangtua terdahulu dalam menghadapi satu kejadian gempa bumi. Kebiasaan yang juga merupakan cara tradisional itu, antara lain adalah

·           Memukul Kentongan

Ada beberapa alasan orang-orang Jawa memukul kentongan, salah satunya adalah karena adanya bahaya bencana. Dan gempa bumi yang menjadi bagian penyebab terjadinya sebuah bencana tentu saja tak luput dari perlakuaan memukul pentongan ini.
Kentongan dipukul dengan tujuan agar banyak warga yang mendengar menjadi lebih waspada terhadap kondisi serta cuaca yang ada dan menjadi kode / tanda pemberitahuan sekiranya memang telah terjadi sebuah bencana. Tanda pemberitahuan satu bencana, pemukulan kentongan dilakukan dengan ketukan satu-satu dengan ritme yang cepat serta keras.

Memenaburkan Abu pada Telur

Kebiasaan menaburkan abu pada telur ini menjadi tak lazim dan sangat susah dipahami. Namun bagi sebagian orang-orang Jawa, khususnya mereka para orang tua, kebiasaan ini tetap dilakukan selepas terjadi sebuah gempa bumi. Dan ketika ditanya, kenyataannya merka juga tak bisa memberikan penjelasan secara pasti, selain hanya meniru kebiasaan orang-orang terdahulu.
·         Ilmiah
Ketika gempa bumi terjadi, tak sedikit hewan juga merasa tak nyaman dengan kebiasaannya. Jika sedang diatas pohon, tentu akan segra turun ataupun terbang. Ketika sedang tiduran tentu akan segera bangun dan berdiri, dan seterusnya. Jiga kondisi induk ayam yang sedang mengerami calon anak-anaknya. Sang induk akan lebih memilih pergi dari tempatnya mengerami telur untuk mencari tempat yang dirasanya nyaman.
Pada saat sang induk ayam keluar dan tidak mengerami telur, , tentu saja kondisi telur ayam menjadi dingin kembali. Demi memberikan bantuan terhadap kurang panasnya suhu telur dan berguncangnya posisi, maka dengan menaburkan abu pada telur akan memperkecil kegagalan menetasnya sang telur.




-       Kebudayaan berdasarkan fisik
1.      Candi Mendut

Ciri-Ciri nya :
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa bidadara dan bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda.

Candi Mendut adalah sebuah candi berlatar belakang agama Buddha. Candi ini terletak di desa Mendut, kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa kilometer dari candi Borobudur.
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama veluvana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.


3. Candi Ngawen

Ciri-Ciri nya :
Candi ini terdiri dari 5 buah candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk yang berbeda dengan dihiasi oleh patung singa pada keempat sudutnya. Sebuah patung Buddha dengan posisi duduk Ratnasambawa yang sudah tidak ada kepalanya nampak berada pada salah satu candi lainnya. Beberapa relief pada sisi candi masih nampak cukup jelas, di antaranya adalah ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara.

Candi Ngawen adalah candi Buddha yang berada kira-kira 5 km sebelum candi Mendut dari arah Yogyakarta, yaitu di desa Ngawen, kecamatan Muntilan, Magelang. Menurut perkiraan, candi ini dibangun oleh wangsa Syailendra pada abad ke-8 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Keberadaan candi Ngawen ini kemungkinan besar adalah yang tersebut dalam prasasti Karang Tengah pada tahun 824 M.

Daftar Pustaka
Astianto, Meni, Filsafat Jawa, Yogyakarta: Warta Pusaka, 2006
Fattah, Abdul, Tradisi Orang-Orang NU, Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2006.
Hasan, Tholhah, Aswaja Dalam presepsi Dan Tradisi NU, Jakarta: Lantabora Press, 2003.
Jamil, Abdul dkk, Islam & Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2002.

0 komentar:

Posting Komentar