div>

Kamis, 27 November 2014

Konflik Agama di Indonesia



Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang tidak dapat dimungkiri oleh siapa pun. Perbedaan –bahkan benturan konsepsi itu- terjadi pada hampir semua aspek agama, baik di bidang konsepsi  tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu konflik fisik antara umat berbeda agama.
Pandangan stereotip satu kelompok terhadap kelompok lainnya, biasanya menjadi satu hal yang muncul bersamaan dengan terdengarnya genderang permusuhan, yang diikuti oleh upaya saling serang, saling membunuh, membakar rumah-rumah ibadah seteru masing-masing, dan sebagainya. 
Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik, telah menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama dan kemudian dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan harapan konflik di antara umat manusia akan teredam jika faktor “kesamaan agama” itu didahulukan.
Menurut Joachim Wach, seorang sar­jana ahli dalam sosiologi agama, se­tidaknya terdapat dua pandangan ter­hadap kehadiran agama dalam suatu ma­sya­rakat, negatif dan positif. Pen­dapat  pertama mengatakan, ketika a­ga­ma hadir dalam satu komunitas,  perpecahan tak dapat dielakkan(faktor dis­integrasi). Salah satu se­babnya adalah ia hadir dengan se­perangkat ritual dan sistem ke­percayaan yang lama-lama melahirkan sua­tu komunitas tersendiri yang ber­beda dari komunitas pemeluk agama la­in..


Agama Dan Konflik
Sejumlah kerusuhan dan konflik sosial telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia, beberapa tahun terakhir. Beberapa di antaranya berskala besar dan berlangsung lama, seperti kerusuhan di Ambon, (mulai 1998), Poso (mulai 1998), Maluku Utara (2000), dan beberapa tempat lain. Pandangan yang kedua adalah sebaliknya. Justru agama berperan se­bagai faktor integrasi.


Konflik sosial yang berbau agama bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya :
1. Adanya Klaim Kebenaran (Truth Claim)
Setiap agama punya kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu- satunya sumber kebenaran. Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknakan. Sebab perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang orang yang meyakininya. Mereka mengklaim telah memahami, memiliki, bahkan menjalankan secara murni dan konsekuen nilai- nilai suci itu.
Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut. Kegiatan ini biasa disebut dengan istilah “dakiyah”. Dakiyah merupakan upaya mensosialisasikan (mengajak, merayu) ajaran agama. Bahkan tidak menutup kemungkinan, masing-masing agama akan menjastifikasi bahwa agamalah yang paling benar. Jika kepentingan ini lebih di utamakan, masing-masing agama akan berhadapan dalam menegakkan hak kebenarannya. Ini akan memunculkan sentimen agama, sehingga benturan pun sulit dihindari. Fenomena yang seperti inilah yang dapat melahirkan konflik antar agama. Misalnya, peristiwa Perang Salib antara umat Islam dan umat Kristen. Tragedi ini sangat kuat muatan agamanya, dari pada politisnya.


2. Adanya Pengkaburan Persepsi antar Wilayah Agama dan Suku
Mayoritas rakyat Indonesia lebih mensejajarkan persoalan agama dengan suku dan ras. Pemahaman yang kabur ini bisa menimbulkan kerawanan atau kepekaan yang sangat tinggi, sehingga muncul benih-benih sektarianisme.

3. Adanya Doktrin Jihad dan Kurangnya Sikap Toleran dalam Kehidupan Beragama
Seorang agamawan sering kali mencela sikap sempit dan tidak toleran pada orang lain yang ingin menganiayanya, pada hal disisi lain mereka sendiri mempertahankan hak dengan cara memaksa dan menyerang orang yang mereka anggap menyimpang. Bahkan, mereka menganggap membunuh orang yang menyimpang itu sebagai kewajiban (Jihad). Lalu kita akan meyakini adanya unsur kesucian dalam hal itu, sehingga mati di dalamnya di anggap kehormatan yang besar sebagai syahid / martir.
Semua orang di dunia ini sepakat bahwa agama selalu mengajak kepada kebaikan. Tetapi ketika seseorang semakin yakin dengan agamanya, maka “orang baik” itu justru semakin kuat membenarkan dirinya untuk tidak toleran kapada orang lain, mereka menganggap  bahwa mereka adalah sumber kebenaran.

4. Minimnya Pemahaman terhadap Ideologi Pluralisme
Al-Qur’an (QS.2:148) mengakui bahwa masyarakat terdiri atas berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima keragaman budaya dan agama dengan memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karena itu, kecurigaan tentang sifat Islam yang anti plural dan suka kekerasan itu sangatlah tidak beralasan.
Bukti-bukti empiris pluralisme Islam juga terjadi dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik yang konkrit di Andalusia, Spanyol, pada masa pemerintahan Khalifah Umawi. Kedatangan Islam di daerah tersebut telah mengakhiri politik monoreligi secara paksa oleh penguasa sebelumnya. Pemerintah Islam yang kemudian berkuasa selama 500 tahun telah menciptakan masyarakat Spanyol yang pluralistic, sebab ada tiga agama di dalamnya yang berkembang, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka dapat hidup saling berdampingan dan rukun. Potret seperti inilah yang perlu dikembangakan oleh seluruh agama, sehingga akan mampu menahan diri dari hasrat alami manusia, yakni kehendak untuk berkuasa (Will to Power). Selain itu, manusia harus mampu mempelakukan agama sebagai sumber etika dalam berinteraksi, baik di antara sesama penguasa maupun antara penguasa dengan rakyat. Jika etika pluralisme ini dapat ditegakkan, maka tidak akan terjadi rangkaian kerusuhan, pertikaian dan perusakan tempat-tempat ibadah.


Daftar Pustaka
http://katarsisalamalika.wordpress.com/tag/konflik-antar-umat-beragama/

0 komentar:

Posting Komentar