Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada
adalah sebuah realitas, yang tidak dapat dimungkiri oleh siapa pun. Perbedaan
–bahkan benturan konsepsi itu- terjadi pada hampir semua aspek agama, baik di
bidang konsepsi tentang Tuhan maupun
konsepsi pengaturan kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup sering memicu
konflik fisik antara umat berbeda agama.
Pandangan stereotip satu kelompok terhadap kelompok
lainnya, biasanya menjadi satu hal yang muncul bersamaan dengan terdengarnya
genderang permusuhan, yang diikuti oleh upaya saling serang, saling membunuh,
membakar rumah-rumah ibadah seteru masing-masing, dan sebagainya.
Cara
pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik, telah
menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama dan kemudian
dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan harapan konflik di antara umat
manusia akan teredam jika faktor “kesamaan agama” itu didahulukan.
Menurut Joachim Wach, seorang sarjana ahli dalam
sosiologi agama, setidaknya terdapat dua pandangan terhadap kehadiran agama
dalam suatu masyarakat, negatif dan positif. Pendapat pertama
mengatakan, ketika agama hadir dalam satu komunitas, perpecahan tak
dapat dielakkan(faktor disintegrasi). Salah satu sebabnya adalah ia hadir dengan seperangkat
ritual dan sistem kepercayaan yang lama-lama melahirkan suatu komunitas
tersendiri yang berbeda dari komunitas pemeluk agama lain..
Agama Dan Konflik
Sejumlah
kerusuhan dan konflik sosial telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia,
beberapa tahun terakhir. Beberapa di antaranya berskala besar dan berlangsung
lama, seperti kerusuhan di Ambon, (mulai 1998), Poso (mulai 1998), Maluku Utara
(2000), dan beberapa tempat lain. Pandangan yang
kedua adalah sebaliknya. Justru agama berperan sebagai faktor integrasi.
Konflik sosial yang berbau agama bisa disebabkan oleh
beberapa faktor, di antaranya :
1. Adanya Klaim Kebenaran (Truth Claim)
Setiap agama punya kebenaran. Keyakinan tentang yang
benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu- satunya sumber kebenaran.
Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan
dimaknakan. Sebab perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari
berbagai referensi dan latar belakang orang yang meyakininya. Mereka mengklaim
telah memahami, memiliki, bahkan menjalankan secara murni dan konsekuen nilai-
nilai suci itu.
Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk
menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju
keselamatan tersebut. Kegiatan ini biasa disebut dengan istilah “dakiyah”.
Dakiyah merupakan upaya mensosialisasikan (mengajak, merayu) ajaran agama.
Bahkan tidak menutup kemungkinan, masing-masing agama akan menjastifikasi bahwa
agamalah yang paling benar. Jika kepentingan ini lebih di utamakan,
masing-masing agama akan berhadapan dalam menegakkan hak kebenarannya. Ini akan
memunculkan sentimen agama, sehingga benturan pun sulit dihindari. Fenomena
yang seperti inilah yang dapat melahirkan konflik antar agama. Misalnya,
peristiwa Perang Salib antara umat Islam dan umat Kristen. Tragedi ini sangat
kuat muatan agamanya, dari pada politisnya.
2. Adanya Pengkaburan Persepsi antar Wilayah Agama dan
Suku
Mayoritas rakyat Indonesia lebih mensejajarkan persoalan
agama dengan suku dan ras. Pemahaman yang kabur ini bisa menimbulkan kerawanan
atau kepekaan yang sangat tinggi, sehingga muncul benih-benih sektarianisme.
3. Adanya Doktrin Jihad dan Kurangnya Sikap Toleran
dalam Kehidupan Beragama
Seorang agamawan sering kali mencela sikap sempit dan
tidak toleran pada orang lain yang ingin menganiayanya, pada hal disisi lain
mereka sendiri mempertahankan hak dengan cara memaksa dan menyerang orang yang
mereka anggap menyimpang. Bahkan, mereka menganggap membunuh orang yang
menyimpang itu sebagai kewajiban (Jihad). Lalu kita akan meyakini adanya unsur kesucian dalam hal itu, sehingga mati di dalamnya di anggap kehormatan
yang besar sebagai syahid / martir.
Semua orang di dunia ini sepakat bahwa agama selalu
mengajak kepada kebaikan. Tetapi ketika seseorang semakin yakin dengan
agamanya, maka “orang baik” itu justru semakin kuat membenarkan dirinya untuk
tidak toleran kapada orang lain, mereka menganggap bahwa
mereka adalah sumber
kebenaran.
4. Minimnya Pemahaman terhadap Ideologi Pluralisme
Al-Qur’an (QS.2:148) mengakui bahwa masyarakat terdiri
atas berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan
sendiri-sendiri. Manusia harus menerima keragaman budaya dan agama dengan
memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan
ibadahnya. Oleh karena itu, kecurigaan tentang sifat Islam yang anti plural dan
suka kekerasan itu sangatlah tidak beralasan.
Bukti-bukti empiris pluralisme Islam juga terjadi
dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik yang konkrit di Andalusia, Spanyol,
pada masa pemerintahan Khalifah Umawi. Kedatangan Islam di daerah tersebut
telah mengakhiri politik monoreligi secara paksa oleh penguasa sebelumnya.
Pemerintah Islam yang kemudian berkuasa selama 500 tahun telah menciptakan
masyarakat Spanyol yang pluralistic, sebab ada tiga agama di dalamnya yang
berkembang, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka dapat hidup saling
berdampingan dan rukun. Potret seperti inilah yang perlu dikembangakan oleh
seluruh agama, sehingga akan mampu menahan diri dari hasrat alami manusia,
yakni kehendak untuk berkuasa (Will to Power). Selain itu, manusia harus mampu
mempelakukan agama sebagai sumber etika dalam berinteraksi, baik di antara
sesama penguasa maupun antara penguasa dengan rakyat. Jika etika pluralisme ini
dapat ditegakkan, maka tidak akan terjadi rangkaian kerusuhan, pertikaian dan
perusakan tempat-tempat ibadah.
Daftar Pustaka
http://katarsisalamalika.wordpress.com/tag/konflik-antar-umat-beragama/
0 komentar:
Posting Komentar